Suatu
artikel yang dimuat dalam majalah TEMPO edisi 30 September 2018 membahas
tentang simpang siur fenomena Vaksin MR yang diragukan kehalalannya. Vaksin tersebut
belum tersertifikasi halal dan mengandung unsur yang haram di dalamnya. Hal
tersebut membuat resah masyarakat di Indonesia yang ingin memberikan vaksin
untuk anaknya. Majalah TEMPO mengangkat topik tersebut dan membahasnya lebih
dalam. Wawancara dilakukan oleh wartawan TEMPO, Devy Ernis kepada Direktur
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung
Sugihantono.
Menurut
saya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Devy Ernis kepada narasumber sudah
baik dan lengkap. Namun, ada beberapa pertanyaan yang rancu, seperti “status
kehalalan merupakan sesuatu yang urgen di Indonesia…”. Pertanyaan tersebut sulit untuk dipahami
konteksnya, sehingga narasumber pun tidak menjawab dengan lengkap dan hanya
membandingkan antara kultur di India dan Indonesia yang berbeda dalam hal
sertifikasi. Menurut saya, pertanyaan yang seharusnya diajukan kepada
narasumber adalah “bagaimana tingkat pengaruh pemberian vaksin MR terhadap
urgensi status kehalalan di Indonesia?”.
Pertanyaan-pertanyaan
lain yang diajukan oleh Devy Ernis lengkap dan mendalam. Ia juga mengajukan
pertanyaan mengenai upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan Vaksin MR dan
target distribusi Vaksin MR di Indonesia. Sebagai seorang pewawancara, Devy
Ernis mampu menggali narasumber secara mendalam dengan pertanyaan yang tepat. Di
samping itu, ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh Devy Ernis. Ia berani
untuk mengajukan beberapa pertanyaan yang sensitif kepada narasumber, seperti “mengapa
Kementerian Kesehatan baru mengurus status kehalalan vaksin measles-rubella
belakangan?” dan “kritik
dilayangkan kepada Kemenkes yang disebut lemah dalam mensosialisasi imunisasi
MR. tanggapan anda?”. Menurut saya, tidak semua pewawancara berani
menanyakan pertanyaan sensitif tersebut kepada narasumber, karena hal tersebut
terkait dengan masalah internal narasumber.
Ada
satu pertanyaan yang cenderung dapat memunculkan perbedaan persepsi antara
pewawancara dan narasumber. Pertanyaan itu adalah "Penolakan terhadap vaksin MR terjadi di mana saja?”. Menurut saya, pertanyaan
tersebut dapat menimbulkan jawaban yang tidak lengkap dan spesifik. Akan lebih baik
jika pertanyaannya adalah "Daerah
mana saja yang masyarakatnya memiliki keraguan terhadap penggunaan vaksin MR?.
Dengan pertanyaan tersebut, pewawancara dapat menggali informasi yang spesifik dari
narasumber dan menghindari perbedaan persepsi.
Selebihnya,
pewawancara sudah baik dalam melakukan wawancara dan dapat mengembangkan
pertanyaan yang lebih spesifik dari pertanyaan-pertanyaan sebelumnya untuk
menggali informasi yang lebih dalam dari narasumber.
Comments
Post a Comment